Di
tulisan pertama, Orang Islam Dilarang Miskin 1, kita sudah belajar
alasan mengapa orang Islam itu tidak boleh miskin. Ruang lingkup “orang Islam”
dalam tulisan ini pun boleh jadi lebih dikhususkan pada “orang Islam yang
tinggal di Indonesia”, karena toh banyak sekali orang Islam di Arab Saudi, Asia
Tengah, bahkan tetangga kita Malaysia, yang tajir-tajir. Jadi yang salah
itu sebenarnya bukan “orang Islam” secara umum, tapi orang Islam negeri ini.
Apa sih yang salah? Mengapa mayoritas kita miskin?
Kita mengaku orang
Islam tapi kita tak tahu apa-apa soal agama ini. We have no idea what
we believe in. Sejak SD kita diajari untuk zuhud, dan percaya bahwa
zuhud itu adalah anti pada kemapanan dan menolak kehidupan duniawi.
Padahal pada zaman Rasulullah, sahabat-sahabat beliau seperti Utsman bin
Affan, Az-Zubayr, dan Abdurrahman bin ‘Auf,
semuanya kaya raya. Mereka memiliki kebun yang banyak, hewan ternak, dan uang
berlimpah. Apakah mereka tidak zuhud?
Tentu saja para sahabat zuhud. Zuhud itu dunia datang pada kita,
lalu kita merasa qona’ah (cukup) dan berinfak untuk dakwahnya jauh lebih besar.
Misal dapet untung Rp 10 milyar, nyumbang Rp 9 milyar. Masih sisa banyak, Rp 1
milyar, tetep disebut kaya. Sedangkan kita penghasilan pas-pasan buat
makan, lebihnya dikit, kalau Jumatan nyumbangnya koinan aja. Terus kalau
ditagih zakat rasanya berat, padahal setahun sekali.
Pas ditanya, kenapa kok tetep miskin, “iya kan hidup ane
zuhud”. Ini sih zuhud kelas gembel bin salah kaprah. Udah nanggung miskinnya
pol jadi ngaku-ngaku zuhud aja biar agak kerenan dikit. Kita ini sabar menjadi
miskin, tapi dengki kalau melihat orang lain berkelimpahan harta. Kalau lihat
ustad jadi kaya kita protes, kok ustad hidupnya mewah. Padahal kita
tak tahu, boleh jadi ustad itu habiskan hartanya lebih banyak untuk
kemanusiaan.
Kalau antum tahu itu di area Blok M ada mall lumayan besar, di
lantai 5 nya ada masjid yang juga luas. Coba kalau yang punya mall orang kafir,
mana mau dia ada masjid di dalam pusat perbelanjaan. Mending disewain untuk
toko. Itulah bedanya harta di tangan orang sholeh dan di tangan orang kafir.
Kalau sekelas kita tiba-tiba dapet rejeki mendadak pasti mikirnya cuma sekadar
jalan-jalan ke Eropa atau beli mobil. Visinya hanya sekadar nafsu pribadi dan
tidak peduli dengan dakwah. Jelas saja Tuhan males ngasih kita harta
banyak-banyak. Mungkin Ia tahu kita ini makhluk tak tahu diri.
Tidak
berorientasi menjadi orang kaya
Rata-rata kita berkarakter orang miskin. Saat kita lihat orang kaya punya helikopter pribadi, kita merasa kita tidak mungkin punya hal yang sama. Padahal kalau terjadi bencana kita bisa langsung angkat telepon ke pilot helikopter, kirim bantuan via udara lebih cepat daripada dari darat. Saat kita lihat rumah yang bagus, kita tak berani bermimpi. Saking tak ada duit, atap rumah kita bocor tidak dibetulkan, jadi kalau jam 3 pagi ada hujan kita bangun buat ngepel dan menadah air pakai ember, padahal harusnya muslim bangun jam 3 pagi ya sholat malam biar surganya nanti agak tinggian dikit.
Rata-rata kita berkarakter orang miskin. Saat kita lihat orang kaya punya helikopter pribadi, kita merasa kita tidak mungkin punya hal yang sama. Padahal kalau terjadi bencana kita bisa langsung angkat telepon ke pilot helikopter, kirim bantuan via udara lebih cepat daripada dari darat. Saat kita lihat rumah yang bagus, kita tak berani bermimpi. Saking tak ada duit, atap rumah kita bocor tidak dibetulkan, jadi kalau jam 3 pagi ada hujan kita bangun buat ngepel dan menadah air pakai ember, padahal harusnya muslim bangun jam 3 pagi ya sholat malam biar surganya nanti agak tinggian dikit.
Saya pernah masuk lobi Hotel Indonesia K*mpinski, karena ada teman
(orang kaya) minta tolong pesankan kamar. Karena miskin ya penampilan saya
apa adanya. Oleh security saya ditanya macam-macam, mungkin disangka teroris
dan bawa-bawa ransel isinya bom. Masya Allah, pikir saya. Itulah akibatnya
kalau jadi miskin, baju dekil dandanan kumuh. Saya lihat pria wanita lalu
lalang bajunya bagus dan wangi. Itulah enaknya jadi orang kaya, tidak dicurigai
sebagai orang jahat.
Malas, Boros,
Pengeluh
Kita lihat orang Cina mengapa hidupnya berkecukupan, karena mereka pekerja keras. Boleh jadi mereka tak percaya ada kehidupan setelah kematian. Tidak percaya surga. Jadi satu-satunya tempat untuk bahagia hanya di dunia. Mereka bangun pagi jam 4 atau 5 subuh pergi ke pasar, lebih awal dari kita. Padahal kita ini punya kewajiban untuk ibadah. Orang Cina juga hemat. Hari ini untung Rp 10 ribu buat makan Rp 5 ribu. Besok untung Rp 20 ribu buat makan tetap Rp 5 ribu.
Kita lihat orang Cina mengapa hidupnya berkecukupan, karena mereka pekerja keras. Boleh jadi mereka tak percaya ada kehidupan setelah kematian. Tidak percaya surga. Jadi satu-satunya tempat untuk bahagia hanya di dunia. Mereka bangun pagi jam 4 atau 5 subuh pergi ke pasar, lebih awal dari kita. Padahal kita ini punya kewajiban untuk ibadah. Orang Cina juga hemat. Hari ini untung Rp 10 ribu buat makan Rp 5 ribu. Besok untung Rp 20 ribu buat makan tetap Rp 5 ribu.
Kita orang Islam itu sudah penghasilan tak seberapa, pengeluarannya
banyak yang tak penting. Rela kredit mobil tapi rumah masih mengontrak di gang
sempit banyak nyamuk kalau hujan dikit air masuk ke dalam. Mengeluh biaya
sekolah mahal tapi tiap hari habis 2 bungkus rokok sehari. Karena miskin
makanannya tak jauh-jauh dari ikan asin, jadilah semakin darah tinggi dan
ngomel-ngomel setiap mau tidur.
Tidak
melek finansial
Menurut OJK, hanya sekitar seperlima dari penduduk Indonesia yang melek finansial, artinya memiliki pengetahuan tentang keuangan yang cukup. Dengan melek finansial, kita bisa mengambil keputusan yang tepat terkait keadaan keuangan pribadi. Jika menikah tahun ini, dan punya anak setahun atau dua tahun kemudian, berapa dana yang harus disisihkan untuk biaya persalinan? Dana untuk sekolah anak diambil dari mana? Pilih sekolah negeri atau swasta? Jika ada kelebihan uang, diinvestasikan ke mana? Boro-boro bisa jawab, besok bisa makan aja udah sukur.
Menurut OJK, hanya sekitar seperlima dari penduduk Indonesia yang melek finansial, artinya memiliki pengetahuan tentang keuangan yang cukup. Dengan melek finansial, kita bisa mengambil keputusan yang tepat terkait keadaan keuangan pribadi. Jika menikah tahun ini, dan punya anak setahun atau dua tahun kemudian, berapa dana yang harus disisihkan untuk biaya persalinan? Dana untuk sekolah anak diambil dari mana? Pilih sekolah negeri atau swasta? Jika ada kelebihan uang, diinvestasikan ke mana? Boro-boro bisa jawab, besok bisa makan aja udah sukur.
Yang juga jadi
masalah, mayoritas kita tidak paham
berbisnis.
Abdurrahman bin ‘Auf adalah salah satu sahabat nabi yang jago
berbisnis. Ketika berhijrah (beliau berusia 10 tahun lebih muda dari
Rasul, berarti saat hijrah usianya sekitar 42-43) beliau tak membawa apa-apa.
Semua asetnya disumbangkan. Ia dipersaudarakan dengan Sa’ad dari Madinah
(termasuk kalangan orang kaya juga). Sa’ad menawari separuh
kebun/harta pada beliau. Tapi Abdurrahman bin ‘Auf menolak, dan cuma bilang,
“Tunjukkan aku di mana pasar”.
Ketika meninggal, beliau meninggalkan 100 ribu dinar (menurut riwayat
Ibn Katsir 80ribu dinar) pada masing-masing istrinya. Istrinya ada 4, jadi
total 400ribu dinar. Karena istri menurut hukum waris mendapat bagian
seperdelapan (kalau ada anak), maka aset keseluruhannya adalah 400ribu dikali 8
= 3,2juta dinar. Kalau 1 dinar sama dengan 4,25 gram emas, dan segram emas = Rp
480ribu, maka total kekayaannya adalah sekitar 6,5 trilyun rupiah. Ini belum
termasuk wasiat beliau, 40 ribu dinar untuk 100 peserta perang Badr.
Jadi, sejak hijrah di umur 43 sampai wafatnya umur
73, atau selama 30 tahun, kita bisa bayangkan berapa banyak yang beliau
kumpulkan. Seandainya Abdurrahman bin ‘Auf ikut The Apprentice jaman sekarang, mungkin nggak ada yang bisa
ngelawan beliau. Semoga Bermanfaat sahabat
Sumber : Naufalunix.Blogspot.Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar